Ini Bukti Kejayaan Lada di Masa Lalu, Pejabat Perkebunan Aceh Sampai Belajar ke Bangka
PETABANGKA.COM - Lada, masyarakat Bangka menyebutnya dengan nama sahang. Komoditas perkebunan utama masyarakat Bangka dan Belitung ini sempat menaikan derajat para petani. Sejalan waktu, kemudian meredup.
Kejayaan lada putih Bangka, setelah terjadinya kontak dagang Bangka dengan dunia internasional. Tercatat dalam sejarah tahun 1290 perdagangan lada antara orang Jawa dengan Cina. Kemudian menjadi terkenal di Eropa hingga Arab. Lada putih pertama kali diekspor melalui Pelabuhan Muntok, Bangka Barat. Oleh karena itu Lada Putih, di pasar internasional dikenal sebagai Muntok White Pepper.
Aroma dan rasa pedas yang khas menjadikan Lada Putih Bangka menjadi perhatian daerah penghasil lada lainnya di Indonesia. Diantaranya adalah Provinsi Aceh. Foto seorang konsultan pertanian Aceh Ir G.A. de Mol Oktober 1929 menjadi saksi jika petani dan pejabat di Provinsi Aceh belajar khusus tanaman lada di Pulau Bangka.Bahkan rombongan membawa stek tanaman lada dan biji lada dari Bangka untuk dikembangkan di beberapa kabupaten di Aceh.
“Banka. Di kebun lada pejabt, dari l. setelah: T. Hasan, pendiri pertanian lanskap di Peureula ; Balin van Pring; Dr. Horst, konsultan pertanian untuk Banka; T. Oesman, penanam lada di Idi Tjoet; Ir. G.A. de Mol, konsultan pertanian Aceh; Tgk. Hadji Brahim, penanam lada di Bago; T. Panglima Prang Nagor, penanam lada di Blang Pidie-,” tulis G.A. de Mol dalam foto mereka yang berlatar belakang tanaman lada di sebuah perkebunan di daerah Petaling, Mendo Barat dalam foto yang tersimpan di http://collectie.wereldculturen.nl.
Dalam foto berikutnya rombongan pejabat dan petani asal Aceh sedang menumpang mobil bus membawa stek tanam lada sebagai bibit dan bijih lada dalam karung untuk di bawa ke Aceh melewati Pelabuhan Muntok.
Rombongan pejabat pertanian danpetani dari Aceh ini mengunjungi kebun lada mulai dari awal penanaman hingga lada yang siap panen. Tampak pekerja Tionghoa sedang merawat kebun lada majikannya di daerah Petaling.
Berlasan rombongan pejabat pertanian dari Aceh ini mempelajari lada Bangka, Pada era itu, lada putih sedang menjadi incaran. Lada Bangka membanjiri pasar lada Internasional.
Tahun 1920-an, perkebunan lada di Bangka dan Belitung mencapai masa keemasannya. Tahun 1926, misalnya, jumlah tanaman lada mencapai 7 juta pohon. Setahun kemudian bertambah menjadi 9 juta pohon dan berkembang hampir tiga kali lipat menjadi 20 juta pohon pada 1931.
Ekspor lada tahun 1931 tercatat lebih dari 12.000 ton mendominasi ekspor lada dari Hindia Belanda 14.000 ton. Hindia Belanda sebagai negara pengekspor lada nomor satu di dunia, setelah penanaman intensif di Pulau Bangka dan Lampung. Hampir sepertiga ekspor lada Hindia Belanda dipasok ke Amerika. Sementara Singapura pasar terbesar kedua dengan volume hampir 25 persen, disusul Jerman dan Belanda. Menjadi catatan, 65 persen ekspor lada Hindia Belanda dari Bangka.
Lada, ditanam awalnya di Kecamatan Muntok dan Jebus di Kabupaten Bangka Barat kemudian menyebar ke arah barat, yakni Dalil dan Petaling di Kabupaten Bangka. Merry F Sommers Heidhues dalam bukunya Timah Bangka dan Lada Muntok, 1992 mengatakan kebun lada pertama di Bangka diusahakan oleh orang-orang Tionghoa yang ditanam berdekatan dengan kawasan pertambangan timah. Pada waktu senggang, para buruh tambang ini menanam dan merawat tanaman ladanya. Karena dinilai menguntungkan dan memberikan manfaat secara ekonomi, selanjutnya orang-orang Tionghoa secara intensif membudidayakan lada di dekat tempat tinggal mereka.
Seperti dalam foto-foto G.A. de Mol, pekerja kebun warga Tionghoa memberikan pupuk kandang dan pupuk hijau pada tanaman ladanya sehingga produksinya pun tinggi. Selain itu, mereka juga mempekerjakan kuli-kuli tambang yang kurang cakap bekerja di tambang timah untuk merawat kebun-kebun lada.
Baru awal abad ke-20, petani Melayu mulai tertarik menanam lada. Pemerintah Hindia Belanda memberikan kemudahan kepada warga pribumi untuk menanam lada sehingga lada menjadi tanaman yang disukai pribumi.Kemudahan itu berupa pemberian intensif bagi pribumi dan tidak perlu izin menanam lada seperti yang dikenakan kepada orang Tionghoa.
Pemerintah Hindia Belanda mengenakan syarat agar lokasi kebun harus paling sedikit berjarak 1,5 kilometer dari tambang timah dan pekebun lada tidak dikenai pajak penanaman lada. Pajak hanya dipungut oleh penguasa lokal 1 persen dari penjualan. Kebijakan itu untuk mencegah orang-orang Tionghoa bekerja di tambang ikut menanam lada atau menjadi pekerja kebun.
Kondisi perekonomian penghujung tahun 1930-an memburuk hingga terjadi Perang Dunia II, kejayaan lada berangsur surut. Di masa penjajahan Jepang (1942-1945), perkebunan lada tak terurus. Setelah Perang Dunia II dan Indonesia meraih kemerdekaan, perkebunan lada Bangka kembali digalakkan hingga tahun 1980-an. Mas kejaan lada Bangka bertahan hingga tahun 1990. Setelah itu, lada kembali terpuruk. Memasuki tahun 2000, perlahan tanaman lada ditinggalkan harga yang jatuh menjadikan petani mulai meninggalkan kebun lada, tak sedikit beralih menjadi penambang timah dan lahan kebun jadi tambang. Luas kebun lada dan produksi lada Bangka anjlok.
Le histoire se repete, Sejarah akan terulang. Dikatakan berulang-ulang karena memang begitu faktanya. Betapa banyak bukti yang sampai kepada kita akan peristiwa masa lampau yang kembali terjadi di masa sekarang. Seperti halnya cerita tentang lada putih Bangka.(*)
Kebun lada di pulau Bangka tahun 1929. collectie.wereldculturen.nl/repro petabangka.com 2019. |
Keterangan foto di atas ditulis : Banka. In den tuin van het onderdistrictshoofd (Balin) van Pring, van l. naar r.: T. Hasan, landschapslandbouwoprichter te Peureula'; de Balin van Pring; Dr. Horst, landbouwconsulent van Banka; T. Oesman, peperplanter te Idi tjoet; Ir. G.A. de Mol, landbouwconsulent van Atjeh; Tgk. Hadji Brahim, peperplanter te Bago; T. Panglima Prang Nagor, peperplanter te Blang -
Artinya kurang lebih : Banka. Di taman bupati (Balin) Pring, dari l. setelah: T. Hasan, pendiri pertanian lanskap di Peureula '; Balin van Pring; Dr. Horst, konsultan pertanian untuk Banka; T. Oesman, penanam lada di Idi tjoet; Ir. G.A. de Mol, konsultan pertanian Aceh; Tgk. Hadji Brahim, penanam lada di Bago; T. Panglima Prang Nagor, penanam lada di Blang. (*)
Penulis : Albana
Editor : Wahyu Kurniawan
Sumber : petabangka.com